I Follow Jesus

Jesus doesn't have Blog, Tumblr, Twitter, Formspring and etc. But still I Follow HIM

Sabtu, 18 Februari 2012

Pagi Untuk Reva

Aku tidak mengerti apa itu cinta, karena yang aku tau aku hanya ingin melindunginya, berada disisinya, dan melihatnya. dengan begitu, aku percaya segalanya akan baik - baik saja. 


Aku terbangun dari tidur nyenyakku tadi malam. Aku berjalan menuju jedela kamarku, aku membuka gorden yang menutupi jendela itu. Sinar matahari pagi dengan sengitnya menyengat kulitku, tapi sinar matahari selalu baik untuk kulit bukan? Aku tersenyum memandang sekeliling rumahku dari balik jendela, aku menarik nafas dalam - dalam, menghirup udara pagi yang sangat segar. 

Ah ya, kalian bisa memanggilku Kafka. Hari ini, tidak banyak yang akan ku lakukan. Aku akan pergi ke kebun teh untuk melihat pekerjaan para bawahanku, ya aku selalu melakukan ini, dan entahlah menurutku mereka selalu melakukan pekerjaan mereka dengan baik, entah karna aku ada disana atau mereka memang pekerja yang baik, aku tidak terlalu ambil pusing. Dan seperti biasa, aku akan menemui gadis itu. Gadis yang amat ku cintai. Namanya Reva. Ia gadis yang sangat cantik, lembah lembut dan sangat baik. Sungguh teramat baik bagiku.
J J J
“Selamat pagi Reva, bagaimana harimu?” sapaku hangat begitu aku tiba di kamarnya. Tidak ada jawaban darinya, ia sama seperti Reva satu tahun yang lalu, ia tetap terbaring lemah, dan matanya masih tertutup. Aku menggenggam tangannya yang dihubungkan dengan selang infus. Wajahnya tetap terlihat cantik meskipun di sana ada selang oksigen yang terhubung dengan hidungnya. Ia tetap cantik bagiku. Aku sudah terbiasa dengan hal ini, aku selalu mengajaknya bicara, meskipun tidak ada jawaban darinya. Sama sekali bukan masalah bagiku. Aku sudah menjalin hubungan dua tahun dengan Reva, dari awal kami berpacaran, aku sudah mengetahui Reva menderita kanker otak, dan aku tau hal ini akan terjadi. Tetapi karna rasa cintaku yang begitu besar, aku mau menerima keadaanya. Karen aku mencintainya, jadi hatiku sulit untuk melepasnya, biarpun begitu aku tidak pernah merasa menyesal.

Walaupun satu tahun sudah keadaan Reva seperti ini, tetapi aku percaya keajaiban Tuhan. Aku percaya suatu hari nanti ia akan kembali sadar, dan aku akan menerimanya, kapan pun itu. Dan aku pastikan hatiku tidak akan berubah, karena cinta yang ku jaga hanya untuknya. Aku tidak mengharapkan apa – apa selain kesembuhannya, karena, hanya dengan melihatnya, aku yakin segalanya akan baik – baik saja, sesederhana itu.
J J J
Dari balik jendela kamar Reva, aku memandangi hujan yang turun dengan derasnya. Kepalaku terangkat, aku memandang langit mendung dari balik jendela itu. Disana ia sekarang, Reva, gadis yang ku cintai itu sudah berada disana, disisi-Nya. Aku percaya, Reva sedang melihatku di sini. Melihatku dulu yang setiap pagi datang ke rumahnya untuk menemuinya, namun sekarang setiap pagi aku tidak lagi ke rumahnya, aku pergi ke peristirahatan terakhirnya. Aku memegang dadaku, sungguh rindu ini tak dapat terbendung lagi. Hingga dua bulan lalu aku masih selalu datang ke kamar ini, disinilah aku bisa menemui gadisku, walaupun ia terbaring dan tidak sadarkan diri. Tetapi itu lebih baik, dari pada sekarang aku tidak dapat melihatnya. Jangan pikir hatiku tidak hancur melihatnya seperti itu, tetapi percayalah, gadis itu adalah sumber kekuatanku, sehingga aku bisa bertahan. Saat aku merindukannya, aku merasa Reva diam – diam datang ke dalam hatiku, dan aku dapat melukis wajahnya denga hatiku, sungguh aku merindukannya, sangat merindukannya.

Jika ada kehidupan berikutnya, jika aku bisa mencintainya lagi, aku akan menjaganya dengan seluruh tenagaku.

-ValentineAnggi-

Senin, 13 Februari 2012

Hadiah Istimewa Untuk Nina

Nina mengurung diri didalam kamarnya, tangisnya pecah. Ia sendiri bingung, kenapa tangisnya tak kunjung usai. Terkadang, ia mampu menguasai emosinya, tapi tidak lama setelah itu, tangisnya kembali pecah. Sudah dua hari ini ia hanya berbicara seadanya pada ibu dan ayahnya. Entah mengapa, melihat kedua orang tuanya membuatnya terus ingin menangis. Hatinya sakit karna teralu kecewa kepada kedua orang tuanya. Orang tuanya bukanlah ayah dan ibu yang kejam kepada anak mereka, mereka baik, bahkan sangat baik. Mereka mendidik Nina menjadi anak perempuan yang mandiri dan penuh tanggung jawab. Ayahnya selalu berpesan ‘Jangan kecewakan kami orang tuamu’ dan ibunya selalu berkata ‘Lakukan apa yang kau suka dengan tanggung jawab, dan buktikan pada kami kau mampu berprestasi’. Kata – kata itu selalu ia ingat, dan ia bisa membuktikan kepada orang tuanya, ia mampu menjaga kepercayaan yang mereka berikan. Ia mampu menjadi anak yang tidak mengecewakan. Ia mampu menjadi anak yang mempunyai prestasi. Tetapi itu sebelum kejadian hari itu, hari dimana ia meminta kado ulang tahun istimewa kepada orang tuanya. Dulu memang mereka dari keluarga yang berada, tetapi hidup terus berputar, saat ini keadaan mereka tidak sama seperti dulu. Hadiah ulang tahun istimewa yang diminta Nina, tidak dapat mereka penuhi. Dulu, Nina juga pernah meminta hadiah istimewa ini, dan ayahnya juga sudah menjanjikannya. Namun, sudah hampir setahun ayahnya tidak menepati janjinya. Dan kali ini, Nina kembali meminta hadiah istimewa itu.
‘Aku akan memberikannya, tetapi tidak sekarang’ kata – kata itu yang selalu terucap oleh ayah maupun ibunya. Dan hal itu membuat Nina putus asa. Ia sudah tidak sabar lagi menunggu. Baginya, ia sungguh telah cukup sabar menunggu. Ia merasa kedua orang tuanya tidak adil. Ia sudah mengerti keadaan mereka, tetapi kenapa mereka tidak bisa mengerti dirinya? Nina menyadari keadaan orang tuanya sekarang, dan ia pun mengerti keadaan mereka, tetapi hatinya yang kecewa, menolak pengertiannya. Hatinya terus berontak, hatinya sudah terlalu kecewa. Ia menangis sejadi – jadinya di kamarnya. Matanya sudah membengkak, dan semakin bengkak karna tangisnya yang tak kunjung usai.
‘Kau lihat dia, dia bekerja membanting tulang untuk kuliah’ kata teman Nina saat mereka berdua berada di kampus, Nina menceritakan keluh kesahnya kepada sahabatnya itu.
‘Lalu itu, gadis yang duduk disana. Ia harus mengulang semester lalu karena tidak bisa ikut ujian karena tidak mampu membayar uang kuliahnya’ sahabatnya itu diam menatap Rina ‘Dan kau lihat dirimu sekarang. Kau masih bisa meneruskan kuliah hingga sekarang, siapa yang mebiayaimu? Orang tuamu kan? Kau harus bersyukur Nina, kau tidak usah bekerja membanting tulang, atau menanggung malu karna harus mengulang semester lalu hanya karna kau tidak sanggup mebayar beban kuliah’
Benar. Sangat benar. Apa yang dikatakan sahabatnya itu sangat benar, tetapi kenapa hatinya menolak untuk mengerti? Ketika sampai dirumah, ia melihat ayah dan ibunya yang sedang menonton TV, Nina tidak mengatakan sepatah kata pun, ia langsung masuk ke dalam kamarnya. Tanpa ia ketahui, ayah dan ibunya menatapnya dengan mata penuh kesedihan. Dan di dalam kamar, lagi – lagi tangisannya pecah. Ia marah kepada orang tuanya, tetapi ia juga marah pada dirinya sendiri, bagaimana bisa ia memiliki hati yang begitu keras? Tidakkan ia mengenal kasih? Kemana rasa kasihnya yang selalu orang tuanya ajarkan selama ini?
Pagi hari saat ia akan berangkat kuliah, ibunya melihatnya dengan penuh harap. Tetapi NIna tetap tidak mengatakan sepatah katapun. Ia tetap diam, dan sama sekali tidak melihat ibunya. Nina melangkahkan kakinya keluar, didepan rumahnya, ia melihat ke dalam kotak pos. Ada surat untuknya, ia membuka surat itu. Dan ternyata itu adalah surat jawaban beasiswa yang ia kirimkan bulan lalu. Keinginannya terkabul, ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya di negara yang sangat ingin ia kunjungi, Inggris. Tetapi, tidak ada senyum di wajahnya, tatapanya masih begitu sedih. Ia membalikkan tubuhnya, dan kembali berjalan ke dalam rumah. Ia memberikan surat itu kepada ibunya. Mata ibunya membesar, senyumnya merekah, ia melihat anaknya, tidak ada senyum disana. Ibunya menarik tubuhnya ke dalam dekapanna, ia menangis ‘Maafkan ibu Nina, menjadi orang tua yang sangat mengecewakan’ bisik ibunya pelan. Nina tidak menjawab, wajahnya basah, ia menangis mendengar kata – kata ibunya.
Tiga hari kemudian, Nina pergi ke Inggris untuk menggapai impiannya. Ayah dan ibunya mengantarnya sampai bandara. Nina masih seperti Nina tiga hari yang lalu, wajahnya murung. Dan hingga keberangkatannya, tidak ada senyum yang ia berikan untuk kedua orang tuanya.
Lima tahun sudah semenjak keberangkatan Nina, ayah dan ibunya selalu setia menunggu kabar dari Nina, tetapi hingga saat ini, tidak juga datang e – mail maupun surat dari Nina, dan selama itu juga orang tuanya merasa sedih dan menyesal, mereka menyesal kenapa mereka tidak mampu memenuhi kado istimewa yang Nina inginkan. Saat itu, ayah Nina sedang dalam keadaan yang tidak baik. Sejak setengah tahun yang lalu, ia menjadi sering sakit – sakitan. Penyakitnya tak kunjung pulih karna perasaan bersalah kepada putrinya yang selalu menghantuinya. Dan disinilah ia sekarang, di rumah yang paling dibenci oleh manusia manapun, dengan selang oksigen yang membantunya untuk bernafas, dan selang infus yang memberinya cairan untuk bertahan hidup, bertahan hingga ia kembali melihat anaknya, bertahan hingga ia dapat memberikan hadiah istimewa yang selalu ada di genggamannya. Setiap pagi, kata yang selalu terucap dari mulutnya ‘dimana Nina?’ tetapi tidak ada satu orang pun yang mampu menjawab dimana Nina.
Lima bulan setelah hari itu, mendung menyelimuti rumah Nina. Banyak orang berdatangan sambil terisak dan mengenakan busana hitam. Terlihat wanita separuh baya menangis sejadi – jadinya, dan di depannya, seorang laki – laki tua sedang berbaring tidur. Tidur untuk selamanya. Hingga akhir hidupnya, ayah Nina masih terus menggenggam hadiah istimewa untuk Nina. Namun sekarang, ia telah pergi, sebelum ia melihat anaknya tersenyum, sebelum ia memberikan hadiah istimewa itu untuk anaknya. Ayahnya pergi dengan ingatan kekecewaan yang teramat dalam di hati anaknya. Dimana Nina? Entahlah…
-ValentineAnggi-

Minggu, 12 Februari 2012

Love Without Price: DUA

Kevin Anggara melangkahkan kakinya memasuki ruang guru, ia melihat wanita yang duduk di pojok ruangan itu, ia tidak begitu yakin, apakah benar itu wanita yang di tunjukan Profesor di foto, tetapi ia akan menanyakannya, kalau salah juga tidak apa – apa, siapa tau wanita itu dapat membantunya mencari orang yang ia cari.
“Apa benar anda Miss Aluna Andita?” Kevin menanyakan hal itu ketika ia berdiri tepat di hadapan wanita itu
“Iya benar, anda siapa?” jawaban yang keluar dari mulut wanita itu, dan kalimat itu sangat melegakan baginya
“Ah akhirnya kita bertemu, perkenalkan” ia mengulurkan tangannya, dan melanjutkan ketika Luna telah menjabat tangannya “aku Kevin, junior dari Profesor Angga”
Mata gadis itu membesar, dan ia tersenyum, Kevin melihat betapa cantiknya gadis itu, apalagi setelah ia tersenyum, senyum yang terlihat sangat tulus “Ah ya, Profesor sudah mengatakannya padaku, selamat datang” jawab gadis itu riang dan membuat Kevin tersadar “Teman – teman semua, ini junior Profesor, yang akan membantu kita dalam Showcase kali ini” lanjut wanita itu, dan berbicara sedikit lebih kencang agar semua orang diruangan dapat mendengarnya.
Kevin membalikkan badan dan memberikan senyum keseluruh ruangan “Selamat pagi, kalian bisa memanggil saya Kevin, atau murid – murid pasti akan memanggil saya Sir, jadi kalian juga boleh memanggil saya Sir, dan saya mohon bantuannya” katanya ramah.
Semua orang yang ada di ruangan itu merasa senang, karena pengganti Profesor juga merupakan orang yang sangat ramah, sama seperti profesor.
J J J

Tiga hari sudah semenjak hari kedatangan Kevin, latihan – latihan untuk Showcase kembali berjalan. Dan Profesor benar, Kevin sama dengan dirinya, bahkan mungkin lebih, menurut Luna, cara Kevin melatih lebih terarah dan terkadang ada perubahan – perubahan kecil pada alur cerita, memang membuat kerja para guru semakin banyak, tapi membuat Showcase terdengar lebih menakjubkan dan sungguh, membuat semua orang semakin tidak sabar untuk menyaksikannya. Siang itu Luna berada di ruang latihan drama, kemarin mereka telah berlatih tarian baru, dan sekarang, tarian yang diajarkan Luna akan di padu padankan dalam drama. Kevin dan Luna mengamati dengan serius saat itu, murid-murid juga sangat bersemangat dan antusias, hingga tak terasa, hari tengah petang.
“Karena hari sudah sore, latihan hari ini kita selesaikanj disini saja, tetapi, kalian semua harus tetap latihan di rumah, setuju?” kata Kevin dengan semangat.
“Setuju Sir, Miss” jawab mereka serempak
“Baiklah, kalian pasti sudah sangat lelah, kalian sudah bisa pulang. Hati – hati dijalan” lanjut Luna.
Lalu Luna dan Kevin keluar dari ruangan itu bersama – sama “Miss Luna, apakah kau merasa lapar?” tanya Kevin.
“Kenapa memangnya? Apakah Sir Kevin lapar?”
“Sebenarnya saat makan siang tadi aku mencari beberapa referensi untuk pendalaman tokoh utama, karna terlalu serius, ternyata jam makan siang ku sudah habis, dan harus melatih, sehingga sampai sekarang aku belum makan”
“Waah, Sir, kau ini begitu menakjubkan sampai kau melupakan perutmu sendiri” jawab Luna sedikit menyindir
“Hah? Apa ini? Kau menyindirku? Kau pasti juga seperti itu kan? Kita ini sama saja” jawab Kevin sambil tertawa kecil
“Hahaha… Tidak – tidak, aku tidak sepertimu, karena aku tidak akan bisa bekerja saat perutku kosong”
“Baiklah… baiklah… karena aku sungguh – sungguh lapar, aku mengalah kepadamu sekarang. Jadi… kau mau menemaniku makan kan?” tanya Kevin dengan wajah memelas.
Luna memperhatikan wajah Kevin dengan bingung, namun melihat mata Kevin yang memelas, ia pun menjawab “Kau ini benar – benar lapar ya?”
J J J
Suara lembut AJ Rafael mengalun lembut didalam sebuah mobil. Pukul 21.30, saat Luna berada di dalam sedan hitam milik Kevin. Saat makan tadi, mereka terlalu asik membicarakan proyek – proyek selanjutnya yang akan mereka lakukan, karena ternyata Kevin juga akan terus mengajar disana, jadi mereka masih bisa terus bekerja sama. Tadinya Luna ingin pulang sendiri, tetapi Kevin bukanlah tipe pria yang mebiarkan seorang wanitan pulang sendirian, apalagi saat malam hari.
“Jadi, kau selama ini tinggal di Bandung dan baru saja pindah ke Jakarta?” tanya Luna di sela-sela suara musik yang masih mengalun lembut.
“ya, begitulah.” jawab Kevin dari balik kemudi
“kenapa kau lebih memilih tinggal di Bandung?”
Kevin menoleh melihat wanita yang duduk di sampingnya, lalu kembali melihat jalanan didepannya. Seharusnya, ia tidak terkejut, karena itu memang pertanyaan yang umum, dan tetntu saja, Luna dapat menanyakan kepadanya. Namun, kenangan tentang ibunya, ibunya yang telah tiada, membuatnya terkejut sekaligus bingung harus menjawab apa. Alasannya tinggal di Bandung karena ia belum berani menghadapi dunia luar setelah ibunya tiada, ia merasa dunia terlalu kejam. Ibunya meninggal tertabrak mobil, dan kejadian itu terjadi didepan kedua matanya. Seorang wanita muda yang dengan sengaja menabrakan mobilnya kepada ibunya, karena wanita itu menginginkan ayah Kevin seutuhnya. Ya, wanita itu adalah simpanan ayahnya. Mengingat hal itu, tanpa ia sadar, Kevin memukul kemudi yang sedang ia pegang. Luna yang sedang melihat keluar jendela, langsung memutar kepalanya dengan cepat. Bingung. Ia melihat wajah Kevin mengeras, seperti orang yang sedang marah. Tetapi, jika Kevin marah, apa yang membuatnya marah? Apakah ia melakukan kesalahan?
Luna kembali menatap Kevin, dan kali ini ia menatap mata Kevin. Luna menyipitkan matanya, ia melihat air keluar dari mata itu. Tangannya terulur memegang lengan Kevin. Kevin yang sadar lengannya di pegang oleh Luna, langsung menghapus air matanya dan mencoba menyembunyikannya.
“Hey, ada apa denganmu Lun? Apa kau merasa takut dengan caraku mengemudi?” tanya Kevin dengan nada suara riang, dan tersenyum kepada Luna.
Luna melihat tangannya, lalu melepaskan genggamannya, kepalanya terangkat untuk melihat Kevin, ia melihat senyum di wajah pria itu, tetapi ia dapat melihat mata pria itu memancarkan kesedihan, nada suaranya juga santai dan riang, namun terlihat bahwa ia sedih “Iya, bisakah kau membawanya lebih pelan?” akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Luna.
“Ah ya, tenang saja, aku akan membawanya lebih pelan” jawab Kevin tapa menoleh pada Luna “oh ya, yang mana rumahmu?” lanjutnya.
Luna memalingkan pandangannya, ia melihat sekeliling dari jendela, ternyata rumahnya sudah dekat “itu rumah ketiga dari sini, yang bercat putih, itu rumahku”
Kevin menghentikan mobilnya didepan rumah Luna. Sebelum turun, Luna kembali menatap Kevin “Kau sungguh tidak apa – apa?”
“Hah?” Kevin agak kaget ditanya seperti itu oleh Luna “Ah ya… aku baik – baik saja” lanjutnya sedikit terbata – bata.
“Syukurlah… hmm… terimakasih sudah mengantarku, aku akan masuk dulu. Sampai bertemu besok”
Tidak ada jawaban dari Kevin, ia hanya tersenyum, lalu setelah Luna turun dari mobilnya, ia membuka kaca dan melambaikan tangan pada Luna, dan akhirnya melaju dengan mobilnya.
J J J

Sabtu, 11 Februari 2012

Love Without Price: SATU

Irama musik terdengar dari studio itu. Terlihat seorang gadis tengah menari disana, tangan dan kakinya bergerak dengan lincah, badannya pun bergerak dengan lenturnya, mengsiyaratkan bahwa ia telah terbiasa menari. Sesekali, matanya menangkap gambar dirinya yang terpantul disana, dan tanpa ragu juga ia mengganti beberapa gerakan yang dianggapnya kurang pas. Ia menghentikan tariannya dan berjalan ke sisi studio, ia meraih catatannya dan menulis beberapa konsep tarian yang baru saja ia siapkan.
“Luna…” gadis itu memutar kepalanya kea rah pintu, melihat siapa orang yang baru saja memanggilnya.
“Oh, ka Tyas, ku pikir siapa. Belum pulang ka?” tanyanya, lalu kembali menatap catatannya dan menimbang – nimbang konsep apa lagi yang akan ia buat.
“Iya, aku habis bertemu dengan Ricko, membicarakan ending music yang ia buat untuk Showcase kita nanti” jawab wanita itu sambil berjalan mendekati Luna “kau sendiri kenapa belum pulang?” lanjutnya lagi.
Luna mengangkat kepalanya dan melihat seniornya itu sudah berada di hadapannya “ahh, aku sedang mencari beberapa gerakan baru, aku merasa sangat antusias pada Showcase ini, Produser sungguh sangat menakjubkan membuat alur ceritanya, aku jadi terlalu bersemangat untuk memberikan yang terbaik” jawabnya sambil tersenyum.
“Ya, aku tau kau sangat mencintai dunia tari, dan bias ku pastikan, tarian yang akan ditampilkan pasti akan sangat istimewa, aku bias melihatnya dari matamu yang berbinar – binar”
“Ka Tyas, kau ini terlalu berlebihan kak, kau saja belum melihat gerakannya, jangan berlebihan begitu memujiku”
“Jadi, menurutmu aku berlebihan?”
“Sebenarnya tidahk, tapi kau berlebihan memujiku” lanjut Luna sambil tertawa “Baiklah, aku akan ganti baju dulu, apa kaka akan menungguku?” lanjutnya sambil mengambil tas dan baju gantinya.
“Ya tentu saja, pulang sendiri bukan pilihan yang tepat menurutku” jawab Tyas cepat.
Lima belas menit kemudian, kedua gadis itu tengah berjalan menuju halte bus. Aluna Andita nama lengkap gadis yang disapa Luna itu, ia seorang guru  lulusan University of Birmingham dengan jurusan Communication Science, namun kecintaannya pada dunia tari, membuatnya memilih bekerja sebagai seorang guru tari di Universitas Seni di Jakarta. Tyas adalah seniornya dulu sewaktu SMA dan dunia memang sempit, mereka kembali bertemu dua tahun yang lalu di Universitas ini. Di usianya yang baru menginjak dua puluh empat tahun, Luna sudah dikenal sebagai Koreografer berbakat, kecintaannya pada tarian membuatnya menghasilkan konsep – konsep tarian yang bukan saja sangat baik, tetapi juga menyentuh hati, semua orang dapat merasakan ketulusan saat menyaksikannya menari.
“Baiklah, sepertinya kau akan meninggalkan aku sendiri disini” kata Tyas.
Kening Luna berkerut, lalu ia menoleh ke sebelah kiri dan mengerti apa yang dimaksud seniornya ini, ia tertawa kecil dan akhirnyan menjawab “ya, sepertinya begitu, tapi ini bukan keinginanku loh kak, sungguh” jawabnya sambil bercanda.
Tyas tertawa “yaa aku tau, cepatlah naik sebelum bis itu meninggalkanmu dan tidak ada lagi bis yang akan mengantarkanmu pulang”
“Aku duluan ya ka, sampai bertemu besok” jawab Luna lalu naik ke dalam bis.
J J J
Pagi ini Luna sangat bersemangat untuk mengajar, H-21 menuju Showcase yang membuat semua orang begitu sibuk di Universitas ini, namun juga yang sangat di nantikan oleh seluruh orang di Universitas ini.
“Miss Luna…” panggil seorang pria yang membuat Luna menghentikan langkahnya, ia berbalik dan segera menyapa dengan sopan
“Produser, selamat pagi” sapa Luna “Aku sungguh bersemangat sehingga berjalan tanpa melihat ke kanan dan ke kiri, ternyata ada produser” lanjutnya
“Ah tidak apa – apa, aku dapat melihatnya kau sangat bersemangat”
“Tapi… apa produser mencariku?”
“Ah ya, jadi sebenarnya begini… aku harus pergi ke luar negri, karena ada beberapa pekerjaan yang harus ku selesaikan”
“Jadi, produser akan kembali ke New York? Begitukah maksudnya?”
“Hahaha kau ini memang cepat sekali menangkap maksudku, kemungkinan aku dua bulan disana”
“Ah dua bulan. Hmm, lama juga yaa…” jawab Luna “Apa dua bulan?” tanyanya seakan – akan baru menyadari sesuatu “Lalu, bagaimana dengan Showcase kita? Bukankah waktunya tinggal tiga minggu lagi?”
“Ya, itu yang ingin aku bicarakan Miss, aku sungguh tidak bias meninggalkan pekerjaanku di New York, tetapi Miss tenang saja, selama aku tidak ada, ada juniorku yang akan menggantikan posisi ku. Ia mengambil beberapa bagian juga dalam konsep Showcase ini, hanya saja, dia tidak ingin melibatkan dirinya secara langsung”
“Lalu, bagaimana?”
“Miss Luna tenang saja, aku sudah mebujuknya, dan akhirnya dia mau untuk membantu kita dalam Showcase ini. Jadi, walaupun aku tidak ada, Showcase ini akan tetap berjalan, dan dia juga yang akan menggantikanku untuk mengajar di Tim Drama”
“Ah begitu, Produser sungguh membuatku terkejut. Lalu, dimana aku bisa menemuinya?”
“Sekarang ia masih ada di Bandung, tetapi besok dia sudah mulai melatih disini. Dia seorang pria yang sangat berbakat, dan aku menyerahkan Showcase ini sepenuhnya pada kalian berdua”
“Apa? Produser serius mempercayakan Showcase ini padaku?”
“Ya tentu saja, melihat kinerja Miss Luna, tidak ada satu hal pun yang membuatku ragu”
“Ah itu, Produser terlalu berlebihan. Tetapi, aku tidak mengenal orang itu, bagaimana aku bisa bekerja sama dengannya?”
“Ahh soal itu, Miss Luna tenang saja, dia laki – laki yang baik dan ramah, jadi tidak akan sulit buat kalian berdua untuk beradaptasi. Ah baiklah, sepertinya aku sudah mengatakan semuanya, apa ada yang ingin Miss tanyakan?”
“Ah tidak, aku mengerti”
“Baiklah, aku harus pergi dan menyelesaikan pekerjaanku di Jakarta sekarang, karena besok aku harus terbang ke New York”
“Baiklah produser, aku senang bisa bekerja sama dengan produser, nanti sekembalinya produser dari New York, kau masih akan mengajakku ambil bagian dalam proyekmu kan?”
“Yaa tentu saja! Itu pasti Miss Luna, aku juga senang bekerja sama dengan Miss Luna. Baiklah, aku pergi sekarang” jawabnya dan mengulurkan tangan.
Luna menjabat tangan produsernya dan tersenyum “Sempai berjumpa lagi Produser” lanjutnya.
J J J
“Lun, Lun, Lunaaa….” Tyas menyikut Luna yang sedang asyik membaca catatannya “Lun, kau mendengarku tidak?”
“Iya ka, ada apa?” jawab Luna cuek
“Itu, lihat ituuuu…..” lanjut Tyas tidak sabar, lalu ia melihat Luna yang masih asik membaca catatannya, tangannya terulur dan dengan sigap menutup catatan Luna dan mengambilnya.
“Loh loh loh kak? Ada apa sih kak?” Tanya Luna bingung. Ia bisa mendengar dari tadi seniornya memanggilnya dengan sangat antusias, namun ia terlalu asik dengan catatannya sendiri, sehingga ia tidak terlalu memusingkan seniornya itu.
“Dari tadi aku memanggilmu, tetapi kau cuek – cuek saja, tidak bisa kah kau mendengar aku hampir berteriak kegirangan?”
“Ia, maaf ya kak, aku juga sedang serius tadi. Memangnya ada apa?”
“Itu…” jawab Tyas sambil menunjuk ke arah pintu masuk ruang guru “Siapa malaikat tampan itu?”
Luna memalingkan pandangannya melihat ke arah pintu. Matanya menangkap sesosok laki – laki tinggi, mengenakan casual jas biru muda yang tidak di kancing, sehingga orang lain dapat melihat T-shirt V-neck yang dikenakannya, dan celana jeans hitam yang dikenakannya, membuat kesan maskulin dan santai. Rambutnya pendek dan rapih, rahangnya terlihat keras, dan ia memiliki wajah yang tampan. Sesaat, Luna tidak dapat memalingkan pandangannya, terpesona melihat laki – laki itu. Namun, panggilan Tyas disampingnya, seakan menyadarkannya.
“Hmm, aku juga tidak tau dia siapa kak” jawab Luna.
Perlahan, laki – laki itu memasuki ruangan tersebut, lalu berjalan menuju meja Luna yang berada di pojok kanan ruangan.
“Apa benar anda Miss Aluna Andita?” tanyanya ramah
Luna sangat yakin, saat ini seniornya pasti sedang melihatnya dengan raut wajah penuh tanda tanya, sekaligus senang karena dapat melihat laki – laki tampan ini dalam jarak dekat.
“Iya benar, anda siapa ?” tanya Luna bingung
“Ah akhirnya kita bertemu, perkenalkan” jawabnya seraya mengulurkan tangan, Luna menjabat tangan laki – laki itu “aku Kevin, junior dari Profesor Angga”
Mata Luna membesar dan senyum menghiasi wajahnya, tanda ia mengerti “Ah ya, Profesor sudah mengatakannya padaku, selamat datang”

Continue :)

Love Without Price: PROLOG


Matanya memandang lurus ke luar jendela. Tangan kanannya memegang cup kopi, tadi kopi itu masih panas, namun sekarang? Entahlah. Pikirannya kemana – mana, ia merasa resah. Perlahan tangan kirinya terangkat hingga menyentuh dadanya. Perasaan apa ini? Mengapa ia merasa sesak? Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya ia rasakan. Ia mulai berpikir, apakah ini yang orang lain sebut cinta? Perasaan yang selama ini tidak pernah ia mengerti dan ia tidak mau mengerti. Apakah sekarang ia sedang merasakan patah hati?

Tiba – tiba saja bayangan laki – laki itu muncul. Dari balik pintu kaca sebuah toko, ia dapat melihat laki – laki itu, laki – laki yang tiba – tiba saja menghilang entah kemana. Dan kini, ia melihat nya. Laki – laki itu memunggunginya, lalu matanya melihat tangan laki – laki itu memegang pinggang seorang wanita. Seorang wanita yang tengah mengenakan gaun pengantin. Kepalanya terangkat, matanya menangkap sebuah tulisan Robe de Mariee. Ia kembali menatap laki – laki itu, meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah lihat. Itu dia, pikirnya. Itu dia laki – laki yang selama ini selalu ia cari – cari, laki – laki yang belakangan selalu menghantui pikirannya, laki – laki yang membuat dirinya menjadi pendiam, yang membuat dirinya nyaris melupakan bagaimana caranya untuk tersenyum pada dirinya sendiri. Entah bagaimana, ia merasa sesak, tangannya memegang dadanya, mengapa ia sulit bernapas? Dan matanya terasa panas, dan tanpa ia sadari… air matanya jatuh terurai.